
Memang penundaan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan menyedot 100 triliun lebih uang Negara per tahun, tetapi sebuah seruan untuk menggiring masyarakat pemilik mobil menengah mewah keatas untuk menggunakan pertamax adalah sebuah seruan sia-sia. Lucu jika sebuah kebijakan strategis hanya dalam bentuk saran, himbauan, atau seruan. Apa bedanya dengan lelucon sebelumnya, tatkala pemerintah mau menerapkan kebijakan membedakan harga BBM untuk sepeda motor, mobil niaga dengan mobil pribadi. Coba saja dipraktekan dan hasilnya pasti banyak siluman, pengelabuan dan penggelapan dalam pelaksanaannya.
Kalau mau fair subsidi harus diambil dari Pajak Kendaraan Bermotor terutama mobil menengah mewah keatas, pasti lebih gampang diawasi dan menganut prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, akan lebih efektif dan efisien. Kenaikan disesuaikan dengan merek, jenis, harga dan tahun mobil.
Jadi tak perlu ada kenaikan BBM sehingga tak ada kenaikan harga, tak akan ada kenaikan listrik, tak akan ada demo, ekonomi pun akan tetap bergairah. Apa salah kalau subsidi yang hambpir 100 triliun itu dibebankan di pajak kendaraan? Toh juga pengguna terbesar BBM yang disubsidi pemerintah adalah premium yang digunakan oleh kendaraan.
Sekali-sekali lawanlah para importir mobil dan produsen mobil, berapa jumlah mobil sudah di impor ke Indonesia, berapa keuntungan yang sudah mereka dapatkan? 54 % BBM digunakan oleh kendaraan roda empat. Mobil menengah mewah keatas di negeri ini jutaan jumlahnya, dan pajak kendaraan di negeri kita ternyata masih lebih murah dibandingkan negara lain.
Banyak orang pinter di negeri ini, cuma masalahnya jika kepentingan mereka diusik maka sebaik dan seadil apapun kebijakan itu tetap saja tak akan bisa jalan. Jika tidak ada keadilan mengapa kita harus dipaksa memberi minum mobil kita pertamax?
0 comments:
Post a Comment